Minggu, 26 Juli 2009

Jembatan Gelap

1 komentar

Sudah lama aku tak ke pantai, ingin ku dengar deburan ombak mu, ingin kujamah pasirmu, dan yang pasti aku ingin menghirup segarnya udaramu, itu yang ada dalam pikirku siang kemarin saat memanjakan tubuh di atas kasur keras yang lebih cocok disebut papan dari pada kasur dalam kamar kontrakan berukuran 3x3 m yang pengap karena tak pernah kubersihkan dan mungkin orang-orang sebelumku pun malas untuk membersihkan karena alasan sibuk atau apapun itu.

Pikiran itu terus melayang dalam pikiranku dan mendesaku bangun. “Hey kau pemalas, lihatlah dunia sudah mulai sore, sedang kau belum juga bangun” pikiranku terus mendesakku. Akhirnya aku menyerah juga dan aku pun pergi ke kamar mandi tuk sekedar cuci muka. Setelah itu ku pergi tuk menyapa teman-teman ku di dunia maya. Dalam keasyikanku dalm dunia maya, tiba2 telepon genggamku berdering , teman lamaku mengajak aku berjalan-jalan, kontan langsung kubalas dan ku ajaknya ke pantai. Ia pun bersedia dan kita bertemu di halte BusWay (trans Jakarta).

Setelah lama duduk di dalam bus terdengar ucapan dari mesin “Next Stop, Ancol shelter, check your belonging and step carefully”. Segera kita turun dan membeli karcis untuk dapat masuk ke kawasan itu. Sudah dalam kawasan kita mulai bingung, dan kulihat peta yang terdapat disana,dank u bilang pada temanku “Kita akan pergi ke sini” sambil menujukan pada tempat yang akan kita tuju di peta. “Naik apa kita?” kata temanku.”Tak tahulah, kita jalan saja dulu sambil ormed”. Kataku. Dan kita pun mulai berjalan. Ternyata perjalanannya sangat jauh, dan kita terkadang bingung harus menuju arah mana, tapi dalam bayang dalam pikirankupun semakin berjingkrak untuk segera sampai ke pantai. Dan itulah semangatku waktu itu.

Setelah kurang lebih satu jam kami berjalan saat itu jam menunjukan pukul 21.00, akhirnya kita sampai juga pada pantai yang kita tuju,sampai di tepi pantai kontan aku bertanya, “dimanakah ombak?”. Karena tak ada ombak yang kubayangkan. Yang ada hanya ombak yang sangat kecil dan suaranyapun kalah sama penampilan Rocker di cafĂ© yang berada di dekat situ. “Huh, aku tak bisa mendengar ombak, disini terlalu ramai, ah mungkin di jembatan sana akan lebih tenang” kataku pada temanku ini. Kamipun berjalan menuju jembatan, Di tepi jembatan kami disambut oleh dua insan yang sedang berpelukan, tanpa menghiraukannya kami terus berjalan, lampu di jembatan itu sebagia besar mati, malah hampir semuanya mati, jadi mataku harus dibiasakan dulu. Dan ku menuju ke tempat yang lebih gelap,”Awch” sadarku ketika melihat banyak pasangan di tempat itu, mungkin jumlahnya hampir 200 pasang, dan semua berpelukan dan bercumbu, aku yang baru datang jadi malu sendiri melihat salah satu pasangan berciuman yang jaraknya tak lebih dari satu meter dariku. Dan mereka seperti sudah terbiasa dengan suasana itu, walhasil aku dan temanku saja yang gugup disana.Kami teruskan langkah kami memutari jembatan dengan pemandangan “cumbuan masal”ini. Apalagi ditempat yang lebih gelap dan agak tersembunyi. Ditengah perjalnan kami putuskan tuk berhenti sejenak dan menikmati indahnya lautan, kutebarkan pandangan yang ada hanya “cumbuan masal” ini. Dan tak jarang terdengar suara-suara aneh dari orang-orang disamping. Tak tahan dengan suasana itu, kamipun pergi lagi ke tempat yang lebih terang di sebrang jembatan itu.

Kami hanya berbincang tentang apa-apa yang telah kami lakukan selama kami tak bertemu, dan sesekali aku tepuk kakiku untuk mengusir nyamuk yang seakan ingin mengusir kami, dan kami pun beranjak untuk pulang dengan BusWay pada pukul 05.00.

Sabtu, 25 Juli 2009

"Sunrice and Rain"

0 komentar
Pagi ini, 21 January 2009

Hujan membasahi kota Bandung, gemericik airnya menemani langkahku menuju rumah persimpangan. Yah mungkin telah seminggu atau lebih Aku seperti kelelawar, saat bumi mulai gelap aku pergi keluar dan pulang saat fajar mulai menyibak langit di ufuk timur, dan kemudian tidur disiang hari sampai mentari sudah lesu di langit sebelah barat. Hanya itu yang kulakukan, duduk didepan laptop, sign in ke messengers dan kemudian chatting dengan orang-orang yang entah di dunia belahan mana, termasuk dengan seseorang dari Negara blasteran eropa dan asia yang paling sering ngobrol denganku beberapa hari ini, semalam aku ngobrol dengannya seperti malam sebelumnya kami membahas perasaan masing-masing, update apa saja yang telah dilakukan dan apa yang akan dilakukan, kemudian berdiskusi tentang semua hal. Rutinitas yang semakin lama semakin membunuhku.

Kawanku pernah berkata dalam tulisannya “ Dan tentunya bagi orang seperti Che, Chairil dan multatuli waktu adalah sebuah cerita yang berisi dialektika perubahan didalamnya (Note Galih: 0 Km)” Yah mungkin aku tak akan bisa menjadi mereka dan dia tapi pagi ini aku merasakan sakit yang sangat dalam, darahku melaju lebih cepat, jantungku berdegup lebih kencang mengingat hari-hari kemarin dan sekarang, aku mulai berkeringat walaupun saat itu hujan mengguyur di kota ini, tampaknya air hujan tak mampu membendung perasaan ini dan aku pun teriak sangat keras “AAAAAAAAAAAAA” beberapa detik tapi cukup melampiaskan perasaanku. Aku merasa seperti diiris-iris saat kutahu bahwa aku tak melakukan apa2, otak dan perasaanku terbunuh oleh rutinitas itu.

Setelah teriakan itu aku merasa sedikit lebih baik, dan mulailah aku berpikir kembali tentang diriku, disana kumenemukan mimpiku telah buram, aku sadar inilah yang membuatku seperti ini, tidak jelas mau kearah mana. Mimpi yang seharusnya kugapai sekarang mulai buram dan kusam. Dengan air hujan ini aku mulai membersihkan kembali mimpi itu, semakin terlihat jelas, terkadang kuteteskan air mata untuk membersihkannya. Terlihat begitu jelas sekarang.

Sabtu, 16 Februari 2008

Jati Diri

0 komentar
Who Am I?

Banyak pertanyaan seperti ini, Mungkin Anda adalah salah satunya. Dan sayapun adalah salah satu dari korban pertanyaan seperti itu, saya ingin tahu bagaimana jawaban kawan2...
Silahkan posting disini...

Who am I ?
 

'Green Badoet' Copyright © 2008 Black Brown Art Template by Ipiet's Blogger Template